Selasa, 14 September 2010

SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE)

I. Pendahuluan

Penyakit Septicaemia Epizootika (SE) atau biasa disebut dengan penyakit ngorok atau septicaemia hemorhagica adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit biasanya berjalan secara akut sehingga angka kematian tinggi, terutama pada penderita yang telah menunjukan tanda-tanda klinik secara jelas.
Penyakit ini tersebar di Asia selatan dan Asia tenggara termasuk Indonesia, Srilangka, Philipina, Thailand dan Malaysia. Di Afrika, penyakit ini terjadi di Afrika Timur Tengah, Afrika Tengah, Afrika Selatan. Di Jepang, Amerika, Australia dan Eropa kejadian penyakit ini sudah jarang dilaporkan. Kejadian pada negara tropis tinggi pada saat musim hujan tetapi isolat dapat ditemukan sepanjang tahun.
Di daerah endemik, diagnosis terhadap penyakit SE sering dilakukan dengan pengamatan gejala klinis. Sesuai dengan namanya, pada hewan yang terinfeksi menunjukan gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya kebengkakan pada daerah- submandibula dan leher bagian bawah. Gambaran pada hewan memamah biak menunjukkan adanya sepsis. Diagnosis ini kemudian dipertegas dengan isolasi dan identifikasi bakteri. Untuk pengendalian penyakit SE, vaksinasi masih merupakan cara yang paling umum dilakukan.
Penyakit SE menyebabkan kematian, penurunan berat badan, serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan pengangkutan. Kerugian yang lain seperti peternak sering terpaksa menjual ternaknya dibawah harga untuk potong. Kerugian ekonomi terbesar akibat penyakit ini terjadi di Asia. Walaupun estimasi kuantitatif kerugian ekonomis akibat penyakit ini jarang dilakukan, dilaporkan dibeberapa negara, kematian akibat penyakit ini mencapai 4–10 ribu ekor per tahun. Laporan FAO tahun 1991 menyebutkan bahwa kerugian pertahun di Indonesia sebesar US$ 4000-6000, di Laos sebesar US$ 1,4 juta dan di Malaysia sebesar US$ 1 juta.


II. Etiologi

Bakteri Pasteurella biasanya diikuti dengan hewan yang diserangnya misalnya pada sapi P. boviseptica, pada babi P. suiseptica, pada ayam P. aviseptica, pada kambing atau domba P. oviseptica dan sebagainya. Selanjutnya pada tahun 1939 dibedakan bakteri Pasteurella yang dapat menyebabkan hemolisa dan tidak, menjadi Pasteurella hemolytica dan Pasteurella multocida (P. septica).
Telah lama diketahui bahwa bakteri Pasteurella dapat ditularkan dari satu hewan ke hewan lainnya. Berdasarkan kenyataannya bahwa bakteri Pasteurella menunjukan bentuk koloni dan sifat yang bermacam-macam, yaitu pertama berdasarkan mouse protection test dan yang kedua berdasarkan atas sifat-sifat antigen selubung bakteri (kapsul) dalam indirect Haemaglutination Test (HA).
Bakteri P. multocida yang berbentuk coccobacillus, mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipolar. Sifat bipolar ini lebih jelas terlihat pada bakteri yang diisolasi dari penderita dan diwarnai dengan cara giemsa. Bakteri yang bersifat gram negatif ini tidak membentuk spora bersifat non-motil dan berkapsul yang dapat hilang karena penyimpanan terlalu lama.
Bentuk koloninya tidak selalu seragam, tergantung beberapa faktor, misalnya media yang digunakan, umur bakteri dalam penyimpanan, frekuensi pemindahan bakteri dan sebagainya. Koloni bakteri yang baru diisolasi dari penderita atau hewan percobaan biasanya bersifat Mucoid dan kelama-lamaan menjadi bentuk Smouth (halus) atau Rough (kasar). Koloni yang bersifat iridescent pada penglihatan pada permukaan bawah cawan Petri biasanya bersifat virulen. Bakteri P. multocida menimbulkan gas yang berbau.

III. Epidemiologi

1. Kejadian di Indonesia
Penyakit SE ditemukan pertama kali di Indonesia oleh DRIESSEN pada tahun 1884 di daerah Balaraja, Tangerang, kemudian pada tahun berikutnya meluas ke timur sampai sungai Citarum dan ke barat sampai ujung Menteng, Bekasi.
Penyakit SE pada kerbau dikenal dengan nama Rinderpest tipe busung. Penyakit tersebut sudah ditemukan pada daerah Majalengka (1897), Imogiri serta daerah diluar pulau Jawa seperti Tanah Datar (1884) dan Bengkulu (1889). Pada tahun 1891 penyebab dari penyakit tersebut dapat diisolasi oleh Van Ecke.
Sejak akhir abad ke 19 penyakit telah meluas ke sebagian besar wilayah Indonesia. Selain kerbau dan sapi, SE juga dapat menyerang kuda, kambing, domba dan rusa.

2. Hewan Rentan
Telah lama diketahui bahwa kadang-kadang bakteri hanya bersifat saprofit pada hewan yang menjadi induk semang. Hewan-hewan tersebut akan menjadi carier penyakit dan mungkin akan menjadi sumber penularan bagi hewan rentan yang lain. Di negara lain hewan-hewan yang dapat terinfeksi adalah babi (48%), sapi (80%), tonsil anjing (10%), gusi anjing (90%) dan tenggorokan manusia (3%).
Selain itu bakteri juga dapat diisolasi dari kelinci, burung dara, burung pelican, kuda, kambing, domba, rusa, tikus, kangguru, ayam, itik dan lain-lain. Berdasarkan perhitungan LD50, urutan derajat kerentanan hewan mulai dari yang paling rentan adalah kelinci, mencit, burung, perkutut, merpati dan marmot. Ayam dan itik bersifat resisten.

IV. Patogenesis
Penyakit SE ditemukan disebagian besar wilayah Indonesia, dan Negara negara lainnya, kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Afrika Selatan dan Jepang. Kebanyakan wabah bersifat musiman, terutama pada musim hujan. Secara spasmodik penyakit juga ditemukan sepanjang tahun. Selain itu ditambah faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya.
Diduga sebagai pintu gerbang infeksi bakteri Pasteurella kedalam tubuh penderita adalah tenggorokan. Hewan sehat akan tertular oleh hewan sakit atau carier melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat-alat tercemar. Ekskreta hewan penderita (saliva, kemih dan tinja) juga dapat mengandung bakteri Pasteurella.
Bakteri yang jatuh di tanah, apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh) akan tahan kurang dari satu minggu dan dapat menulari hewan-hewan yang digembalakan di tempat tersebut. Tanah tidak lagi dianggap sebagai reservoir permanen untuk bakteri Pasteurella, ada kemungkinan bahwa insekta dan lintah dapat bertindak sebagai vektor.
Infeksi alami yang ringan akan mengakibatkan terbentuknya antibodi. Begitu pula dengan hewan-hewan yang sembuh dari penyakit SE. Menurut penelitian, jika setengah hewan dalam kelompok telah di vaksin, maka penyakit tidak timbul karena peluang untuk terjadinya kasus diperkecil dan kemungkinan terjadinya wabah dibatasi.
Pada babi, SE banyak yang berbentuk sebagai gangguan pernafasan dengan gejala batuk yang lebih menonjol. Penularan melalui udara yang dibatukkan oleh penderita lebih mudah terjadi, apalagi kalau babi-babi tersebut makan dan minum dari tempat yang sama. Timbulnya SE pada babi sangat dipengaruhi oleh faktor predisposisi, seperti pada kerbau dan sapi ekskreta penderita juga dapat mengandung bakteri Pasteurella.
Kontaminasi pada
rumput, air, dll

Karier Karier Penyebaran bakteri Kasus Hewan
Laten aktif secara intermitten klinis peka

Kontak
Hewan langsung
Kebal alami

Terinfeksi
tanpa gejala
Gambar 1. Siklus Septicaemia Epizootica
Di lapangan, kejadian penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai terjadinya kematian hewan secara cepat. Dalam pengamatan, hewan biasanya mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular (kadang menyebar ke daerah dada) dan gejala pernafasan dengan keluarnya ingus dari hidung. Dalam banyak kasus, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Lama penyakit lebih pendek pada kerbau dibandingkan pada sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2-5 hari. Gejala timbul biasanya setelah masa inkubasi 2-5 hari. Gambaran klinis menunjukan 3 fase yaitu: fase pertama, hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, anoreksia dan hipersalivasi; fase kedua, hewan mengalami gangguan pernafasan dengan hioersalivasi dan nasal discharge; dan fase ketiga, bakteri telah masuk ke dalam peredaran darah sehingga terjadi septicaemia.
Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, kenaikan suhu hingga 43oC dapat teramati 4 jam sesudah infeksi setelah inokulasi, sedangkan pada sapi kenaikan suhu mencapai 40oC baru teramati setelah 12 dan 16 jam setelah iniokulasi. Dalam darah, bakterimia sudah terjadi 12 jam setelah inokulasi pada kerbau dan sapi. Jumlah bakteri dalam darah terus meningkat hingga saat kematian hewan.

V. Gejala Klinik
Penderita SE akan terlihat lesu, suhu tubuh naik dengan cepat, gemetar, mata sayu dan berair, selaput lendir dan mata hiperemi. Nafsu makan, memamak biak, gerakan rumen dan usus menurun sampai hilang disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik dan diare kadang-kadang disertai titik-titik darah. Sekali-kali ditemukan juga epistasis, hematuria dan urtikaria yang dapat berlanjut ke nekrose kulit.
Pada SE dikenal tiga bentuk yaitu, bentuk busung, pektoral dan intestinal.
a. Bentuk Busung
Ditemukan busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula terjadi pada bagian alat kelamin dan anus. Derajat kematian bentuk ini tinggi sampai mencapai 90% dan berlangsung cepat (hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu). Sebelum mati, terutama pada kerbau terjadi gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok merintih dan gigi gemeretak.

b. Bentuk Pektoral
Ditandai dengan bronchopnemoni dan dimulai dengan batuk kering dan nyeri. Kemudian terdapatnya eksudat dari hidung dan terapat pernafasan capat dan basah. Proses biasanya lama 1-3 minggu.
Penyakit yang bersifat kronis ditandai dengan hewan menjadi kurus, batuk, nafas dan amakan terganggu, terus mengeluarkan air mata, suhu tidak berubah, terjadi diare yang bercampur darah, kerusakan pada paru-paru, bronchi dan pleuranya.

c. Bentuk Intestinal
Bentuk intestinal merupakan gabungan dari bentuk busung dan bentuk pektoral.


VI. Gambaran Patologi

1. Patologi Anatomi
a. Bentuk busung
Telihat busung gelatin dan disertai pendarahan di bawah kulit kepala, leher, dada dan sekali-kali meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan atau kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot.
Busung gelatin juga ditemukan disekitar pharynx, epiglotis dan pita suara. Lidah sering sekali membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur keluar.
Selaput lendir saluran pernafasan umumnya membengkak dan kadang-kadang diseratai selaput fibrin. Kelenjar limfa retropharyngeal dan cervical membengkak. Rongga perut sering berisi cairan berwarna kekuningan sampai kemerahan.
Tanda-tanda peradangan akut hemoragik bias ditemukan di abomasum, usus halus dan colon. Isi rumen biasanya kering sedangkan isi abomasum seperti bubur. Isi usus cair berwarna kelabu kekuningan atau kemerahan tercampur darah.
Seringkali terdapat gastroenteritis yang bersifat hemoragik. Limpa jarang mengalami perubahan dan proses degenerasi biasanya terjadi pada organ parenkim (jantung, hati dan ginjal).

b. Bentuk pektoral
Terlihat pembendungan kapiler dan pendarahan dibawah kulit dan di bawah selaput lendir. Pada bagian pleura terlihat peradangan dengan pandarahan titik dan selaput fibrin tampak pada bagian permukaan alat-alat visceral dan rongga dada. Terlihat gejala busung berbentuk hidrothoraks, hidroperikard. Paru-paru berbentuk bronchopnemoni berfibrin atau fibronekrotik. Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kosistensi agak rapuh. Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam atau satu stadium, berupa hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam stadium yang lebih lanjut. Bidang sayatan paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin pada bagian-bagian nekrotik, sekat interlobular berbusung dan bagian-bagian yang normal. Bagian paru-paru yang tidak beradang tampak hiperemik dan berbusung. Kelenjar limfa peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda enteritis akut sedangkan limfa umumnya normal.



c. Bentuk Intestinal
Bentuk campuran dari kedua bentuk diatas dan ditandai gastroenteritis kataralis hingga hemoragik.


2. Histopatologi
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis berupa hemoragi pada adventisia dan submukosa peritrachea, general pnemoni intertisial dengan hiperemi, oedema dan infiltrasi limfosit dan makrofag. Ditemukannya mikro koloni bakteri Pasteurella pada pembuluh limfe. Di hati terdapat cloudy swelling dan degenerasi lemak. Pada ginjal ditemukannya pignosis inti dari sel epitel tubular ginjal dan pada jantung terdapat hiperemia subepicardium dan hemoragi subendocardium.

VII. Diagnosa

1. Pengiriman bahan
 Sediaan ulas darah jatung yang difiksasi metil alkohol
 Cairan oedema dan darah dari jantung yang dimasukan kedalam pipet pasteur
 Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan susmsum tulang. Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sumsum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.

2. Pemeriksaan di Laboratorium
 Preparat ulas darah diwarnai dengan metilen blue atau giemsa sehingga terlihat bakteri bipolar. Dengan pewarnaan gram terlihat bentuk gram batang negatif.
 Bahan yang diperoleh dari hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan
 Isolasi agen penyebab dapat menggunakan agar triptosa, agar darah atau agar serum darah.

3. Percobaan Biologi
Hewan percobaan yang peka yaitu kelinci, perkutut dan mencit yang disuntik secara subkutan (SC) atau intra muscular (IM). Pada kelinci dapat dilakukan dengan menggoreskan bahan tersangka pada kulit telinga, terutama jika bahan yang dikirim telah busuk. Hewan yang disuntik dengan bakteri ini akan memperlihatkan gejala perdarahan pada pembuluh darah paru-paru dan jantung.

VIII. Deferensial Diagnosis

1) Leptospirosis akut
2) Anthraks
3) Penyakit Jembrana stadium awal
4) Rinderpest
5) Black Leg
6) Contangiosa Bovine Pleuro Pneumonia (CBPP)
7) Abses Abdominal
8) Abses Otak
9) Selulitis
10) Infeksi Influensa Haemophylus
11) Sepsis Intra-abdominal
12) Abses Hati
13) Abses Paru-paru
14) Meningitis
15) Abses Perinephric
16) Pneumonia karena Bakterial
17) Pyelonephritis Akut


IX. Pencegahan, Pengendalian dan Pengobatan

1. Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut
a) Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b) Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c) Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika.

2. Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut :

a) Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan tersangka sakit disertai pengobatan.
b) Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut:
 Disekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi.
 Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.

3. Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai berikut:
a) Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekatnya disediankan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.
b) Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular.
c) Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk.
d) Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.
e) Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar.
f) Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan.
g) Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir.

4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.
b) Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan.
c) Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan tersangka harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan.
d) Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur.

5. Pengobatan:
Pasteurella multocida merupakan bakteri gram negatif sehingga pengobatan dapat diberikan antibiotika golongan penicillin dan preparat sulfa (antibakteri), tetapi bakteri ini mudah menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Pemberian antibakterial yang efektif harus sedini mungkin dan dilanjutkan 1-2 hari setelah hewan terlihat normal. Apabila tidak ada perubahan dalam 24 jam setelah pemberian antibakterial spesifik, diberi obat yang baru atau ubah dosis (peningkatan dosis diatas petunjuk label) harus dari dokter hewan. Perubahan harus dilakukan secara kontinu sampai didapatkan efek bakterial yang efektif.
Perlindungan dan nutrisi yang cukup sangat dibutuhkan. Disarankan terapi tambahan dengan vitamin B yang diberikan dengan cara dicekok bersama pakan cair dan probiotik. Metode pengendalian penyakit yang efektif yang telah banyak digunakan saat ini adalah vaksinasi. Berbagai tipe vaksin telah digunakan dan menghasilkan derajat dan lama kekebalan yang bervariasi. Meskipun demikian, pengendalian penyakit yang efektif tidak hanya tergantung pada vaksin yang baik tetapi juga pada program vaksinasi yang strategis.
Vaksin yang dapat memberikan kekebalan tentu merupakan pilihan yang lebih baik. Vaksin adjuvant minyak sudah banyak dipakai, tetapi kesulitan aplikasi masih merupakan kendala yang besar. Beberapa vaksin hidup yang diaplikasi secara parenteral maupun secara aerosol sudah banyak dicoba. Umur vaksinasi dan saat vaksinasi sangat mempengaruhi keberhasilan pengendalian SE. Kerbau yang berumur kurang dari 3,5 bulan tidak dapat berespon baik terhadap vaksinasi. Hewan dibawah umur 6 bulan kurang peka terhadap penyakit SE. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya maternal imuniti. Dianjurkan vaksinasi awal adalah pada umur 4 bulan. Pada wilayah dimana terjadinya wabah dapat diperkirakan, sehingga vaksinasi tahunan harus dilakukan sebelum terjadinya wabah.
6. Vaksin SE
Umumnya vaksin terhadap SE hanya mengandung Pasteurella multocida tipe B-2 atau E-2. Di banyak negara, biang vaksin diperoleh dari isolat lapangan setempat. Macam-macam vaksin SE:
a. Plain bacterin
Adalah vaksin yang paling sederhana yang diproses dari kultur agar. Vaksin yang disiapkan dengan cara ini memberikan kekebalan kurang dari 6 minggu, tetapi yang tidak diberi adjuvant memberikan kekebalan 1,5-2 bulan dan dapat menyebabkan shock karena adanya endotoksin dalam vaksin bakteri tersebut.

b. Alum-precipitate vaksin
Vaksin ini dibuat dari broath bacterin yang dibunuh dengan formalin dan ditambahkan 10-20% larutan potash alum untuk mendapatkan 1% alum dalam vaksin. Vaksin ini banyak dipakai karena mudah didapat dan mudah diaplikasikan yaitu dengan cara penyuntikan secara subcutan. Vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama 5 bulan, vaksinasi tahunan biasanya dilakukan dua kali.

c. Vaksin Adjuvat minyak
Vaksin ini telah terbukti cukup efektif. Emulsi minyak ini minimal harus mengandung 2 mg bakteri dalam 3 ml emulsi. Vaksinasi ini memberikan kekebalan dalam 6-9 bulan setelah vaksinasi pertama pada hewan muda, dan dapat melindungi selama 12 bulan setelah revaksinasi. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruang, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal. Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin biasanya berakibat pada pengurangan kekebalan.


d. Vaksinasi hidup parenteral
i. Blue variant
Beberapa galur bakteri Pasteurella multocida pernah dicoba sebagai vaksin hidup menggunakan blue variant yang diperoleh dari cultut broth yang lama.variant ini bersifat kurang patogen terhadap mencit. Pada kerbau, galur ini memberikan kekebalan untuk beberapa bulan, tetapi vaksin galur ini sekarang tidak digunakan lagi

ii. Streptomycin dependent mutan
Di Mesir, Streptomycin dependent mutan, galur P. multocida tipe B digunakan untuk mengimunisasi mencit. Di Srilank, mutan serupa digunakan untuk mengimunisasi sapi dan kerbau. Vaksin ini bisa melindungi 75% sapi dan 100% kerbau dengan dosis tunggal.

e. Vaksin hidup aerosol
Pasteurella multocida galur B-3 dan B-4 digunakan sebagai biang vaksin aerosol. Bakteri ini bisa menyebabkan hemorrhagi septicaemia pada ruminansia liar, tetapi tidak pada sapi dan kerbau. Walaupun galur P. multocida B-3 dan B-4 jarang terisolasi pada hewan, tetapi mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya.
Di lapangan, P. multocida B-3 dan B-4 didapat dari rusa di Inggris. Bakteri ini bersivat kurang virulen jika dibandingkan dengan P. multocida B-2. Vaksin ini diaplikasikan secara subcutan dengan dosis 107 CPU dari vaksin hidup dapat melindungi hewan lebih dari 1 tahun, tetapi aplikasi vaksin ini menimbulkan kebengkakan pada lokasi penyuntikan dan kematian pada beberapa hewan.
Percobaan lain dengan semprotan partikel kasar secara intranasal dengan dosis yang sama tidak memberikan perlindungan yang memadai. Pada percobaan selanjutnya, semprotan partikel halus dengan alat hair spray memberikan proteksi terhadap SE lebih dari 1 tahun. Inokulasi secara aerosol menimbulkan kekebalan lokal mukosa dan sistemik sehingga memberikan perlindungan yang lama. Vaksin tersebut direkomendasikan oleh FAO dan WHO untuk digunakan pada ternak sapi dan kerbau.

X. Kesimpulan

Septicaemia Epizootica (SE) adalah penyakit infeksius yang menyerang ruminansia oleh bakteri gram negatif Pasteurella multocida. Penyakit ini menyebar cepat dengan cara kontak langsung yang menyebabkan kematian dan kerugian ekonomi yang tinggi. Pencegahan SE yang bisa dilakukan adalah dengan pemberian vaksin.


























Kolera Unggas

Sinonim:
• Fowl Cholera
• Avian cholera
• Avian pasteurellosis
• Avian hemorrhagic septicemia

PASTEURELLOSIS
- Penyakit yg disebabkan o/ bakteri genus pasteurrella.
- P. multocida, Reimella anatipestifer, dll.


▪ Kausa :
- Pasteurella multocida :
- gram (-), batang bipoler, non motil, tdk spora.
- kalsifikasi  kapsul : A  unggas, B  SE, D  atrophic
rinitis, E, F.
 antigen somatik (LPS) : 16 tipe
- Kolera : serotipe A1, A3, A4.


▪ Keparahan tergantung pd :
a. Host : umur, spesies
b. bakteri : strain, kapsul, toxin (tipe A & D)
c. lingkungan

▪ Masa Inkubasi : 4 jam – 9 hari.
- Bentuk penyakit : perakut, akut, kronis
- Infeksi : Aerogen, oral, hematogen  luka gigitan

▪ Gejala Klinis :
a. Perakut : tdk ada GK, hwn mati
b. Akut : anorexia, mukus discharge mulut,diare, sesak nafas.
c. Kronis : bengkak pial, muka, persendian & telapak kaki; sesak nafas, tortikolis.

▪ Patologi Anatomi :
a. Akut  septikemia :
- Hiperemi umum, pendarahan epikardium, serosa & lemak;
- Hati bengkak, fokal nekrotik (hepatitis necrotican milier)
- Pneumonia, enteritis kataralis, ovarium lembek, pecah & pendarahan.
b. Kronis  Infeksi lokal :
- edema pial & persendian, exudat sal. pernafasan
- pneumonia fibrinus, ovaritis, tortikolis (radang telinga tengah)


▪ Histopatologi : Organ Hati & Paru2 :
- Infiltrasi sel radang terutama heterofil, makrofag
- sel hepatosit nekrose
- eksudat fibrin
- trombus dlm pembuluh darah





I Pendahuluan






II. Etiologi
1. Morfologi

2. Sifat Biakan

3. Sifat fisikokimia
Sifat biokimia kuman ini adalah sebagai berikut: tidak memproduksi H2S dan Urea, Tidak memfermentasi laktosa, raftinosa, arabonosa dan maltosa. Tetapi terhadap indol positif demikian pula kuman ini mampu memfermentasi glukosa, sukrosa dan mannitol. Dengan uji katalase kuman ini memberikan hasil yang positif.

4. Struktur antigen.
Pateurella multocida pada unggas tidak menunjukkan presipitasi silang (cross reaction precipitation) dengan Pasteurella multocida pada sapi dan babi. Demikian pula dengan reaksi kekebalannya (cros imunity) tidak ada reaksi silang satu dengan lainnya.
Kuman penyebab kolera pada itik di desa Mungu ternyata Pasteurella multocida capsular tipe A dengan somatic tipe 1. hal ini dilaporkan oleh Carter, 1980 yang telah megidentifikasi material yang dikirimkan oleh BPPV wilayah VI Denpasar Bali kepada Dr. GR. Carter.

III. Epizootiologi
1. Hewan rentan.
Hampir seluruh bangsa unggas rentan terhadap penyakit ini seperti : itik, angsa, ayam, mentok dan kalkun. Tingkat kerentanan bari berbagi jenis bangsa unggas berbeda-beda antara satu bangsa unggas dengan bangsa unggas yang lainnya. Dilihat dari tingkat kerentanannya kalkun merupakan hewan yang paling rentan. Berdasarkan umur jenis unggas penyakit ini pada ayam biasa menyerang yang berumur diatas 16 minggu, pada broiler umur 3-5 minggu, pada itik umur diatas 4 minggu. Selain itu merpati dan burung liar juga pernah dilaporkan menderita kolera unggas.


2. Cara penularan dan Pathogenesa kuman.
Cara penularan penyakit dari hewan satu ke hewan lainnya adalah secara oral dan secara perinhalasi. Penularan secara kontak, baik secara langsung maupun tak langsung dapat terjadi. Hewan yang sakit akan mengeluarkan kuman terutama melalui kotoran atau fesesnya. Namun yang berada di dalam kotoran bila mencemari makanan atau minuman ayam akan menginfeksi ayam yang sehat yang minum atau makan makanan yang tercemar tersebut. Kuman yang masuk ke dalam tubuh ayam akan berkembang biak terutama dalam saluran pencernaan penderita. Kuman yang telah berkembang biak dalam usus selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah melalui vena mesenterica menuju organ-organ predileksinya, seperti paru-paru, jantung, hati dan ginjal. Pada organ tersebut kuman menimbulkan kerusakan. Unggas yang pernah menderita penyakit ini dan kemudian sembuh dapat dicurigai sebagai karier/ pembawa. Lalat dan rakun dapat menjadi vektor dari kolera unggas.

IV. Gejala Klinis dan Patologi anatomi.
1. Gejala klinis
Penderita yang terserang penyakit ini menunjukkan gejala-gejala klinis berupa gangguan pernafasan dimana tejadi suara ngorok, tidak mau makan, mencret berwarna kehijauan, lumpuh dan diikuti dengan kematian. Kematian penderita terjadi dalam waktu 2 hari sejak gejala awal muncul. Disamping gejala-gejala tersebut diatas, gejala yang paling sering menyertai adalah keluarnya darah dari lubang-lubang alami.

2. Patologi anatomi
Perubahan anatomi pada organ-organ penderita yang terserang kolera unggas ini yang paling mencolok adalah pada jantung, baik pada epicardium, myocardium maupun pada endokardiumnya tejadi perdarahan yang berbentuk ptechiae echimosa. Perdarahan seperti itu juga terdapat pada usus dan ginjal. Pada paru-paru disamping terjadi perdarahan juga terjadi peradangan (pneumonia). Sedangkan pada hati ditemukan bintik-bintik putih, dibawah kulit dijumpai adanya penimbunan cairan atau yang sering disebut dengan oedema.

V. Diagnosa dan Diagnosa banding
1. Diagnosa penyakit
Diagnosa penyakit oleh Pasteurella multocida didasarkan pada:
• Gejala klinis yakni berupa suara mengorok, mencret berwarna kehijauan, lumpuh dan keluarnya darah dari lubang-lubang alami tubuh.
• Patologi anatomi, berupa : perdarahan paru-paru, hati, ginjal dan usus.
• Pemeriksaan mikroskopik, ditemukannya kuman berbentuk batang, gram negatif, berkapsul dan bipolar.
• Isolasi dan identifikasi digunakan media padat agar darah dimana pada media ini kuman membentuj koloni bulat dengan tepi halus dan berwarna kecoklatan. Sedangkan untuk mengidentifikasi kuman dipakai beberapa media seperti yang diuraikan di bagian depan.

2. Pengiriman bahan
• Sediaan ulas darah jantung yang difiksasi dengan metil alkohol.
• Cairan udema atau darah jantung yang dimasukkan dalam pipet pasteur.
• Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan sum-sum tulang. Organ dimasukkan dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sum-sum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.

3. Pemeriksaan dilaboratorium
• Pada preparat ulas darah yang diwarnai dengan biru metil atau giemsa terlihat kuman bipoler. Dengan perwarnaan gram terlihat bentuk batang Gram-negatif.
• Bahan yang diperoleh dari hewan tersangka seperti darah, cairan udema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan.
• Isolasi agensia penyebab dapat menggunakan agar triptosa, agar darah atau agar serum darah. Biakan yang masih segar memberikan bau yang “khas”. Pada lempengan dapat terlihat tiga macam koloni :
a. Koloni mukoid (M) yang besifat lengket. Bakteri dari jenis koloi ini mempunyai derajat virulensi yang sedang terhadap mencit.
b. Koloni Smooth (S) memperlihatkan sifat fluoresen. Bakteri dari jenis koloni ini mempunyai derajat virulensi yang tinggi terhadap mencit.
c. Koloni rough (R) terlihat berwarna kebiruan dan bakteri dari koloni ini mempunyai derajat virulensi yang rendah terhadap mencit.
d. Jenis koloni M dan S memiliki kapsel, sedang tipe R tidak memilki kapsel.

2. Serologis
Serologis yang hasilnya cukup baik dan dapat digunakan adalah AGPT (Agar Gel Precipitation), FAT maupun CFT.


3. Diagnosa banding
Diagnosa banding dari penyakit ini adalah semua penyakit pada unggas yang menunjukkan gejala diare, seperti :
1. Salmonellosis
2. Newcastle Disease (ND)
3. Coriza
4. Colibasillosis

VI. Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan.
Untuk mencegah penyakit kolera pada unggas yang sering digunakan adalah vaksin Past produksi Pusvetma Surabaya. Vaksin ini merupakan vaksin inaktif dalam minyak atau dalam pelarut minyak (adjuvant). Sebagai antigennya digunakan kuman Pasteurella multocida yang diisolasi dari itik yang menderita kolera. Aplikasi vaksin ini adalah secara sub kutan dengan dosis 0,5 ml. Selain itu vaksin-vaksin lain contohnya adalah Otogenus vaksin yang terdiri dari dua macam, yaitu sebagai beikut:
a. Broth bacterin vaksin.
Vaksin ini menggunakan Pasteurella multocida yang diisolasi pada itik yang menderita kolera unggas. Kuman tersebut kemudian dibentuk dalam serum Broth selama 16 jam, untuk membunuh kuman. Memakai formalin dengan konsentrasi akhir 0,25 %.

b. Precipatated Broth Vaksin
Merupakan kuman Pasteurella multocida pada broth serum broth yang berumur 16 jam ditambah potassium Alumunium Sulfat, denagn konsentrasi akhir 9,75% dan dibiarkan selama 6 jam kemudian ditambahkan formalin dengan konsentrasi akhir 0,25%.

Pengobatan dan pengendalian lain yang sering dilakukan terhadap kuman Pasteurella multocida adalah dengan menggunakan antibiotik seperti Spektinomisin, Linkomisin, Eritromisin. Aplikasi eritromisin biasanya dicampurkan bersama dengan air minum denagn dosis tertentu. Sanitasi kandang, biosekurity, dan manajemen kandang adalah hal yang mutlak harus dilakukan untuk mengurangi angka sakit. Vaksinasi colera unggas unggas pada ayam dilakukan pada ayam umur 8-10 minggu, kemudian diulang pada umur 18-20 minggu. Pada kalkun vaksinasi dilakukan pada kalkun umur 6-8 minggu dan kemudian diulang pada 14- 16 minggu.





XI. Daftar Pustaka

Bain RVS. 1963. Hemorrhagic Septicaemia. Australia: Department of Veterinary Pathology and Bacteriology. Hlm 6-11.

Bain RVS, De Alwis MCL, Carter GR dan Gupta BK. 1982. Haemorrhagic Septicaemia. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Hlm 1-15.

Bakhori S. 2005. Penyakit Kerbau Ngorok Mengganas di Jambi. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2005/02/16/brk,20050216-33,id.html. [22 Februari 2007]

Carter GR dan De Alwis MCL. 1989. Haemorrhagic Septicaemia. Oleh Rutter JM. Pasteurella and Pasteurellosis. Harcourt Brace Jovanovich: Academic Press. Hlm 131-157.

Direktorat Kesehatan Hewan. 1988. Petunjuk Khusus Cara Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Hlm 24-26.

_________. 1977. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Hasil lokakarya penyusunan pedoman pengendalian hewan menular. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Hlm 39-49.

Lafeber T. 2006. Pasteurella Multocida Infection. http://www.emedicine.com/med/topic1764.htm. [22 Februari 2007]

Natalia L dan Priadi A. Diagnosis, Pencegahan dan Pengendalian Ngorok. Kumpulan makalah. Penyakit Ngorok (Septicaemia Epizootica, SE) dalam rangka pelepasan purna bhakti ahli peneliti utama Drh. H. Anief Sjamsudin, APU. Simposium. 19 Agustus 1997 di Bogor. Bogor: Balai Penelitian Veteriner. Hlm 31-40.

Seleim RS. 2003. Review: Major Pathogenic Components Of Pasteurella Multocida And Mannheimia (Pasteurella) Haemolytica Isolated From Animal Origin. http://www.priory.com/vet/Pasteurella.htm. [22 Februari 2007]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar